Kisah Sepasang Sajadah

  


Ahad sore itu saya berada di sebuah agen bus. Bukan untuk membeli tiket, namun untuk menunggu keberangkatan bus. Sesuai jadwal di tiket, bus akan berangkat pada pukul 6 sore. Kurang lebih sepuluh menit setelah adzan maghrib berkumandang. Tujuan saya adalah Wates.  Sebuah kota kabupaten yang tidak terlalu besar. Tidak juga terlalu ramai. Berada di sebelah barat kota Yogyakarta. Dan di sebelah timur bandara Yogyakarta International Airport. Strategis ya…  

Saat terdengar adzan maghrib, saya berjalan menuju sebuah mushola kecil yang berada di salah satu sudut ruangan. Sesampainya di sana terlihat sepasang sajadah yang tergeletak di lantai keramik. Satu sajadah berwarna biru gelap. Motifnya tidak terlalu saya pahami. Sepertinya mirip dengan ukiran Jepara. Motif tersebut memenuhi hampir setiap bagiannya. Satu lagi berwarna biru muda. Ada gambar seperti kubah atau mihrab masjid. Ada tambahan motif seperti ukiran di bagian tengahnya. Di tepinya terdapat hiasan berupa garis-garis geometri. 

Sajadah. Bagi umat Islam, saya yakin tidak akan asing dengan barang ini. Biasanya digunakan sebagai alas untuk melaksanakan ibadah sholat. Sajadah umumnya terbuat dari kain. Ukurannya ada berbagai macam, mulai dari yang besar, bisa digunakan untuk menutupi badan. Ada juga yang berukuran mini, yang hanya cukup untuk menempelkan wajah ketika bersujud. Motifnya pun beragam, yang sederhana misalnya motif polos. Motif yang paling banyak biasanya berupa kubah masjid. Ada juga motif yang lebih rumit dan bercita rasa artistik seperti batik atau pola geometri. Harganya juga bervariasi. Mulai dari yang terjangkau sampai dengan yang lumayan menguras kantong. 

Fungsi utama sajadah adalah untuk memberikan kebersihan dan kenyamanan saat beribadah. Dengan menggunakan sajadah, seorang Muslim dapat memastikan bahwa tempat sujudnya bersih dari kotoran dan najis. Selain itu, sajadah juga membantu menjaga konsentrasi dalam beribadah, karena memberikan batasan fisik yang jelas antara tempat shalat dan area sekitarnya. 

Setelah mengambil air wudhu, bergegas saya menuju sajadah yang telah terhampar. Setelah menunggu beberapa saat nampaknya tidak ada orang yang mendekat. Memang waktu itu hanya satu dua penumpang saja yang menunggu bus. Akhirnya saya menjalankan ibadah sholat sendiri. Bebas. Mau cepat, atau lambat tidak akan mengganggu orang lain. Toh cuma sendiri. Resiko terburuk paling ya ketinggalan bus karena jadwal keberangkatan yang mepet. 

Seharusnya, saya beribadah dengan penuh konsentrasi. Namun entah mengapa waktu itu mata ini lebih fokus mengamati sepasang sajadah yang terhampar. Mata saya menjelajahi setiap sudut sajadah yang tergelar. Sehingga nampak, warna yang semula terlihat cerah dari kejauhan, ternyata di beberapa bagian telah mulai memudar. Sepertinya menandakan tanda-tanda usia yang mulai menua. Seperti saya. Motif yang indah pun, ternyata sudah tidak sempurna karena telah ternoda. Bahkan, ketika sujud, tercium aroma yang menggelitik indera penciuman. Efeknya bahkan sampai mengaburkan doa-doa yang semestinya harus dilafalkan. Untungnya hidung ini masih bisa bertahan. Bertahan untuk tidak mengeluarkan suara ledakan. Orang bilang disebut bersin. Astaghfirullah…

Pekan berikutnya, ketika saya menuju agen bus ini kembali, saya telah menyiapkan sajadah pribadi. Saya tidak mau kehilangan konsentrasi lagi karena aroma yang tidak saya sukai. Setelah selesai saya gunakan, sajadah pribadi saya lipat dan bawa kembali. Tapi niat tersebut saya urungkan. Saya tidak ingin ada orang lain yang hilang konsentrasi seperti saya. Sehingga akhirnya sajadah pribadi saya tinggal. Sementara sajadah biru muda saya masukkan ke dalam tas plastik yang telah saya siapkan. Rencananya akan saya buatkan ritual. Ritual merendam dengan bunga tujuh rupa dicampur dengan detergent agar bisa mencuci sendiri. Karena tidak sempat mencari bunga tujuh rupa, akhirnya ritual hanya menggunakan detergent saja... maafkan saya...

Benar saja. Setelah direndam beberapa puluh menit, airnya telah berubah warna. Warna yang mirip air sungai Serayu yang mengalir di musim hujan pada bulan ini, Desember. Atau ketika sungai Serayu meluap dan mengakibatkan banjir. Apabila pembaca masih penasaran dengan warna airnya, bisa dilihat pada tautan ini

Pekan berikutnya, sajadah biru muda saya bawa. Rencananya akan saya kembalikan ke tempat semula. Di mushola agen bus. Namun rencana ini gagal. Karena sesuatu dan lain hal, saya batal naik bus dan berselingkuh dengan kereta api. Dan sajadah biru muda terpaksa ikut bersama saya kembali menuju ke Wates. 

Pekan berikutnya lagi, Ahad petang, saya sudah berada di agen bus seperti biasa. 

Saya menuju mushola untuk mengembalikan sajadah biru muda yang saya bawa. Untuk kemudian mengambil sajadah pribadi yang sudah saya tinggal. Tentunya setelah usai melaksanakan ibadah sholat maghrib. Namun rencana saya urungkan. Sajadah biru tua seperti memanggil-manggil saya. Ada raut kecemburuan pada sajadah biru tua. Kenapa? Karena sahabatnya telah berubah menjadi wangi dan segar. Sementara dia, masih teronggok seperti biasa. Tanpa perhatian. 

Akhirnya saya memutuskan untuk membungkus sajadah biru tua dan membawanya ke Wates. Saya melaksanakan ritual yang sama untuk sajadah biru tua. Ya, sama. Supaya tidak ada kecemburuan lagi.

Pekan demi pekan berlalu. Tidak terasa sudah enam bulan lebih saya bergaul dengan agen bus ini. Hubungan kami tidak selalu mulus. Ada kalanya saya selingkuh dengan bus lain. Ada kalanya selingkuh dengan kereta api. Sampai akhirnya sepasang sajadah kembali ke kodratnya. Terutama aroma. Mungkin karena saat ini musim hujan telah tiba. Sehingga udara menjadi lebih basah dan lembab.

Hal ini membuat saya bimbang. Apakah saya harus kembali membawanya ke Wates untuk menjalani ritual? Atau menyampaikan pengaduan ke agen bus? Atau mungkin yang lebih ekstrim, misalnya dengan mengusulkan agar perusahaan otobus menerapkan standar manajemen mutu sesuai ISO 9001:2015?

Entahlah… saya belum memutuskan...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menepi, Ngopi, Membranding Instansi

Desain Rumahku Menggunakan Sweet Home 3D (1)

Menikmati Pasir Putih Pulau Dodola, Morotai, Maluku Utara