Curhat Istri Tetangga

Malam itu sebelum tidur, saya dan istri mengobrol tentang berbagai hal. Tentang kondisi cuaca di tempat tinggal kami yang mulai sering turun hujan. Tentang rumput liar yang mulai tumbuh kegirangan dan banyak bermunculan di sela-sela batu pada halaman rumah. Tentang kegiatan anak kami yang masih sekolah, juga yang sedang kuliah di luar kota. Juga tentang keadaan keponakan yang sedang menderita sakit. Dan tentunya pekerjaan istri yang semakin menumpuk menjelang akhir tahun 2024.

Obrolan lainnya adalah kisah istri tetangga yang bekerja sebagai PNS. Eh, ini ghibah bukan  sih?

Malam itu, istri saya menceritakan kisah istri tetangga yang cukup mengusik hatinya. Istri tetangga curhat kepadanya bahwa dia sering diledek oleh rekan kantornya karena kesulitan melafalkan huruf “F” dan “V”. Harap maklum, istri tetangga kami berasal dari Sunda. Sebagai orang Sunda, sepertinya memang terdapat kesulitan dalam mengucapkan huruf-huruf tersebut. Namun, ironisnya justru rekan kerjanya menjadikan kekurangan tersebut sebagai bahan candaan. Bahkan candaan tersebut sering diulang-ulang. Hingga membuatnya kesal.

Meskipun sebenarnya saya kurang suka mendengar ghibah seperti itu, saya tetap mendengarkannya dengan seksama. Karena kisahnya mirip dengan pengalaman pribadi saya saat kuliah dulu. 

Sebagai seseorang yang berasal dari daerah dengan logat ngapak, saya sering menjadi minoritas dalam hal logat berbicara. Beberapa teman menganggapnya lucu, bahkan sepertinya sengaja menjadikannya bahan lelucon. Bahkan sampai beberapa teman lainnya tertawa terbahak-bahak. Saya tahu persis bagaimana rasanya menjadi bahan candaan yang mungkin tidak dimaksudkan untuk menyakitkan, tetapi tetap saja dapat menimbulkan rasa tidak nyaman. 

Setelah mendengar kisah itu, saya mencoba memberikan komentar. Langkah paling bijak menurut saya adalah bersabar, tidak dimasukkan ke dalam hati dan tidak perlu ditanggapi dengan berlebihan. Kalau tidak ditanggapi, biasanya mereka akan bosan sendiri. 

Saya juga mencoba menyampaikan sedikit hikmah bahwa di balik setiap kekurangan, bisa jadi ada kelebihan. Saya memberikan contoh almarhum Kasino, anggota dari WARKOP DKI yang telah tiada. Dia sangat dikenal dengan logat ngapaknya. Meskipun seringkali menjadi bahan olok-olokan, namun justru di situlah letak kekuatannya. Demikian pula komedian terkenal Parto, Cici Tegal, dan pesulap pak Tarno. 

Selesai menanggapi nampaknya tidak lagi terdengar suara dari istri saya. Sepi. Rupanya istri sudah terlelap. Mungkin curhatnya telah membuatnya lelah dan mengantuk. Atau bisa juga karena merasa lega telah berhasil mengeluarkan apa yang menjadi ganjalan di dalam fikirannya. 

Setelah itu, saya malah jadi hilang kantuk.  Kenapa? Karena ada rasa penasaran di fikiran dengan fenomena orang Sunda yang sulit melafalkan huruf “F” dan “V”. untuk itu, saya mencoba mencari tahu tentang hal tersebut dengan “Google”. 

Berdasarkan informasi yang saya dapat di sini, saya mendapati bahwa salah satu penjelasan terkait ketidakmampuan orang Sunda melafalkan huruf “F” dan “V” adalah kondisi arkeologi Bahasa dan Aksara Sunda ratusan tahun yang lalu. Di dalam aksara Sunda yang disebut dengan Kaganga, tak dikenal huruf “F” mau pun “V”. Yang ada adalah “P”, sehingga mereka pun tak terlatih untuk melafalkan huruf “F” dan “V”. Kebiasaan dan pengetahuan yang telah ada selama ratusan tahun ini kemudian tertanam di dalam pikiran dan alam bawah sadar masyarakat Sunda. Oh, ternyata begitu ya…

Sungguh, apa yang telah dilakukan oknum PNS tersebut membuat saya prihatin. Meskipun mungkin itu dilakukan sebagai candaan, sebenarnya sudah termasuk kategori ejekan atau sekarang ini lebih dikenal dengan perundungan. Waktu saya kecil, sepertinya hal ini adalah sesuatu yang biasa. Namun berdasarkan informasi yang saya dapat mengenai perundungan, hal ini tidak lah baik. Dan tentu saja harus dihentikan.

Berdasarkan informasi yang saya dapat internet ternyata banyak hal terkait perundungan yang belum saya ketahui dan baru saja saya ketahui. Misalnya jenis perundungan yang ternyata bisa bermacam-macam. Menurut Kemenpppa.go.id perundungan dikelompokkan enam kategori. Salah satunya adalah kontak verbal langsung yang berupa tindakan mengancam, mempermalukan, mengganggu, memberi panggilan nama, merendahkan, intimidasi, memaki, dan menyebarkan gosip buruk. Berarti apa yang dilakukan oknum PNS kepada istri tetangga termasuk perundungan jenis ini.

Dalam konteks tempat kerja, meskipun hanya candaan, perundungan yang berulang dapat menurunkan semangat kerja dan kolaborasi, mengurangi produktivitas, bahkan mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Bahkan bisa jauh lebih buruk dari itu. Misalnya pernah penulis baca di sini, akibat dari perundungan bisa sangat di luar nalar. Bermula dari ejekan akhirnya berujung pada penganiayaan bahkan pembunuhan. Naudzubillah... 

Bagi saya kejadian perundungan di tempat kerja sungguh membuat miris. Yang mana dilakukan oleh orang dengan status Pegawai Negeri Sipil alias PNS. Oleh orang-orang terdekatnya. Orang yang hampir setiap hari bersua dan bekerja sama. Sebagai PNS, mereka seharusnya memahami dan melaksanakan kode etik yang telah digariskan oleh pemerintah. 

Pemerintah telah mengatur kode etik dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps Dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil. Dalam PP tersebut diatur bahwa dalam pelaksanaan tugas kedinasan dan kehidupan sehari-hari setiap Pegawai Negeri Sipil wajib bersikap dan berpedoman pada etika dalam bernegara, dalam penyelenggaraan Pemerintahan, dalam berorganisasi, dalam bermasyarakat, serta terhadap diri sendiri dan sesama Pegawai Negeri Sipil. Juga diatur etika terhadap sesama Pegawai Negeri Sipil. Etika tersebut antara lain adalah saling menghormati antara teman sejawat baik secara vertikal maupun horizontal dalam suatu unit kerja, instansi, maupun antar instansi. 

Dalam peraturan ini juga diatur bahwa PNS yang melanggar kode etik akan dikenakan sanksi moral. Bahkan juga dapat dikenakan tindakan administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Apakah mereka tidak pernah membaca dan memahami aturan ini ya?

Beberapa waktu yang lalu – sudah agak lama sih - telah diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 27 Juli 2021 core value ASN Ber-AKHLAK yang merupakan akronim dari Berorientasi Pelayanan, Akuntabel, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif. Salah satu core value ASN yaitu Harmonis, mempunyai makna saling peduli dan menghargai perbedaan. Panduan perilaku (kode etik) dari Harmonis antara lain menghargai setiap orang apapun latar belakangnya. Value ini sepertinya belum menjadi value oknum PNS teman kerja istri tetangga kami. 

Menurut pendapat saya,  PNS yang seharusnya Ber-AKHLAK namun pada praktiknya tidak berakhlak, mungkin dapat diibaratkan anak yang durhaka kepada orang tuanya. Ini berarti sama dengan telah melakukan dosa besar. Dosa besar tentunya dapat berakibat adanya hukuman yang bisa jadi tidak ringan.    

Dari beberapa artikel yang telah saya baca tadi, ternyata ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasinya. Sepertinya ini bisa jadi bahan obrolan kami berikutnya. Tapi karena istri sudah tidur, ya sudah, saya ikut… 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menepi, Ngopi, Membranding Instansi

Desain Rumahku Menggunakan Sweet Home 3D (1)

Menikmati Pasir Putih Pulau Dodola, Morotai, Maluku Utara