Senin, 06 April 2015

PJKA...




Akhir bulan Agustus 2014 lalu, saya mendapat tugas baru ke ibu kota negara Indonesia, setelah sekian tahun tugas di kota Ternate, Maluku Utara. Cukup lama juga saya di kota Ternate, enam tahun lebih. Sebuah kota kecil namun aktifitasnya tetap ada meski waktu sudah berada di ujung malam. Sepertinya saya sudah layak menjadi warga kota ini ya.. Tapi karena tugas, jadinya harus meninggalkan kota ini...

Bisa pindah ke Jakarta setelah sekian lama di luar Jawa, siapa yang tidak senang ya? Memang sih.. Jakarta bukan kota idaman buat saya. Tapi dari pada nun jauh di sana jauh dari keluarga di ujung timur utara Indonesi... ya di Jakarta ini bisa jadi lebih baik. Yang paling saya benci dengan Jakarta adalah macet dan semrawutnya. Dulu aja sudah begini apalagi sekarang. Belum lagi banjir yang hampir tiap tahun datang menghampiri.
Dulu.. sekitar tahun sembilan puluhan, saya pernah tinggal di Jakarta selama tiga tahun, jadi anak kuliahan gitu. Eh, sebenarnya bukan di Jakarta sih, cuma di pinggirannya saja. Tepatnya di seputaran Pondok Aren, yang sudah masuk wilayah Tangerang. Tapi secara geografis memang relatif dekat dengan Jakarta Selatan. Enak juga tinggal di sini karena masih ada suasana kampung. Tapi kalau sedang ada perlu ke Kebayoran Lama atau Kebayoran Baru, macetnya minta ampun.
Selesai jadi anak kuliahan, kemudian saya magang di kantor yang berada di Lapangan Banteng. Karena jarak yang cukup jauh antara Pondok Aren - Lapangan Banteng, saya harus berangkat pagi-pagi sekali. Paling tidak jam 5 pagi sudah harus meninggalkan rumah, eh kos, menuju ke tempat magang supaya tidak terlambat. Pulang magang sampai tempat kos bisa malam hari sekitar jam 7 - 8.  Demi efisiensi, akhirnya saya pindah kos ke daerah Sentiong. Menuju Lapangan Banteng dari kos saya cukup menggunakan mikrolet satu kali sekitar lima belas menit.
Namun magang saya tidak berlangsung lama, hanya sekitar tiga bulan. Saya harus meninggalkan kantor ini dan melaksanakan tugas di tempat baru. Tempat tugas itu berada di kota yang terletak di ujung utara pulau Sulawesi. Sebuah kota yang dekat dengan taman laut Bunaken yang terkenal itu. Namun, setelah beberapa kali pindah tugas, tanpa dinyana saya kembali lagi ke tempat saya magang dahulu, walaupun sekarang sudah mengalami banyak perubahan.

Nah, karena keluarga saya tetap tinggal di kota P yang terletak kurang lebih 15 km di sebelah selatan gunung Slamet, maka tiap Jumat - kalo kantong belum bolong - saya mudik ke kota P. Kemudian saya kembali lagi ke Jakarta pada hari Ahad. Orang-orang ada yang menyebut pelaju seperti ini dengan istilah PJKA. Pulang Jumat Kembali Ahad. 
Untuk mudik ke kampung saya maupun balik ke Jakarta, pilihan transport dengan waktu tempuh tercepat adalah dengan kereta api. Namun sayangnya hanya ada satu pilihan kereta api untuk mudik dengan harga terjangkau yang berangkat di malam hari. Akibatnya banyak PJKA-ers yang membeli tiket kereta api tersebut dan saya sering tidak mendapatkannya. Akhirnya, menggunakan bus menjadi pilihan yang paling realistis buat saya. Yah, meskipun harus duduk berjam-jam, paling tidak sepuluh jam, yang penting bisa mudik dan sampai tujuan di kampung.
Untungnya, kereta api yang berangkat ke Jakarta dari atau melewati kota P ada beberapa pilihan yang berangkat sore dan malam hari. Kalau menggunakan kereta api, waktu tempuh ke Jakarta rata-rata selama enam jam. Jauh lebih lebih cepat dibanding menggunakan bus. Jadilah saya pengguna kereta api setiap Ahad malam menuju Jakarta.






Rutinitas Ahad malam menggunakan kereta api membuat saya mulai menghapal beberapa penumpang yang rutin berangkat seperti saya. Yang paling saya ingat dari mereka adalah kebiasaan menggelar lapak dan tidur di lorong, di bawah tempat duduk dan kadang-kadang di bordes. Saya yakin, mereka melakukan itu bukan karena tidak mendapat tempat duduk, karena sekarang kereta api tidak menjual tiket tanpa tempat duduk. Melainkan karena butuh istirahat agar esoknya bisa kembali beraktifitas dengan bugar. Adalah hak mereka untuk berbuat seperti itu, tapi penumpang lain juga mempunyai hak untuk bisa berjalan di lorong dengan leluasa. Ironisnya, setelah mereka menyelesaikan hajat tidurnya, tinggalah sisa lapak berupa koran bekas tersebar di mana-mana...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar