Transformasi Kereta Api Yang Membuat Saya "Sedih"
Dulu, menjelang tahun 90-an, ketika saya masih duduk di sekolah dasar, menjelajah stasiun dan naik kereta api saat libur sekolah adalah petualangan seru. Dari rumah saya ke stasiun kereta api Purwokerto, sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar dua kilometer saja. Apabila ditempuh menggunakan kendaraan bermotor hanya beberapa menit sudah sampai. Namun waktu itu, kendaraan bermotor masih relatif jarang. Dan saya bersama teman-teman biasa berpetualang ke sana dengan berjalan kaki atau paling banter dengan naik sepeda.
Sebelum sampai ke stasiun kereta api, perjalanan menuju ke sana bersama teman-teman, menjadi cerita petualangan tersendiri. Waktu itu tentunya belum ada hape dengan akses internet. Apalagi yang juga dilengkapi dengan peta digital. Jadi, untuk sampai ke stasiun, kami memberanikan diri untuk bertanya-tanya kepada orang-orang baik yang kami temui di sepanjang perjalanan.
Sesampainya di stasiun kereta api, untuk masuk ke dalamnya bukanlah hal yang sulit. Tentu kami tidak masuk melewati pintu utama stasiun yang hanya untuk penumpang kereta. Kami masuk melalui pintu lainnya yang ada di sisi selatan atau utara stasiun. Mungkin saat ini dikenal dengan “jalan tikus”. Jalan yang biasa dilalui oleh warga yang ingin melintas ke kampung sebelah. Atau pedagang asongan yang akan berjualan di stasiun maupun di atas gerbong kereta.
Di dalam stasiun kami berpetualang dengan mengamati gerbong barang dan gerbong tangki BBM yang terparkir. Kemudian menyelinap ke depo kereta api untuk melihat lokomotif yang sedang dilakukan perawatan rutin atau perbaikan. Petualangan berikutnya adalah kami menaiki kereta barang yang berangkat menuju stasiun Kroya. Setelah sampai di stasiun Kroya, kami menunggu kereta barang yang lain untuk kembali ke Purwokerto.
Mungkin pembaca heran, kami yang masih kecil sudah berani ke stasiun dan mengetahui berbagai hal. Sebenarnya, yang membuat kami berani berpetualang adalah keberadaan paman salah satu teman kami yang bekerja di stasiun. Jadi, sebelum kami memberanikan diri berpetualang, sudah ada informasi yang kami dapatkan seputar stasiun kereta api, termasuk jadwal perjalanan kereta api, khususnya kereta barang. Demikian asyiknya berpetualang di stasiun bersama kereta api membuat saya sempat bercita-cita ingin menjadi masinis atau teknisi kereta api.
Ketika saya beranjak dewasa dan kuliah di kota J pada tahun 90-an, kereta api merupakan salah satu transportasi andalan saya terutama ketika pulang kampung. Pun ketika saya telah bekerja pada tahun 2000-an, kereta api juga masih menjadi andalan saya ketika mudik. Terkhusus lagi mudik lebaran Idul Fithr. Apalagi waktu itu, tiket tanpa tempat duduk alias tiket berdiri tetap dijual. Bagi saya, yang penting bisa terangkut kereta dan segera bisa sampai ke tujuan meskipun harus berdiri dan berdesakan. Kenapa kereta menjadi pilihan? Karena waktu tempuh yang lebih pasti dan bebas dari kemacetan.
Pada era 90-an maupun 2000-an, suasana stasiun dan layanan kereta api masih tidak jauh berubah dengan pada saat saya berpetualang ke stasiun ketika masih sekolah di SD. Pada masa ini, stasiun kereta api adalah tempat yang masih terbuka bagi siapa saja. Pedagang asongan, pengamen bahkan pengemis bisa masuk ke stasiun dengan leluasa. Demikian pula dengan jadwal kedatangan dan keberangkatan kereta api, lebih sering terlambat dari pada tepat waktu.
Sekarang, situasi stasiun kereta api dan layanannya telah jauh berubah. Saat ini, layanan kereta api telah mengalami transformasi yang membawa banyak perubahan dalam hal pelayanan, keamanan dan kenyamanan. Transformasi ini, tidak dapat dipungkiri ada peran dari Bapak Ignasius Jonan ketika menjadi pimpinan di sini.
Transformasi ini pada hakikatnya adalah baik. Namun, mungkin bagi sebagian orang – khususnya saya - transformasi ini terasa “menyedihkan.” Lho kok bisa?
Ya.
Pertama, akses masuk ke dalam stasiun hanya untuk penumpang bertiket. Yang diizinkan masuk ke dalam stasiun hanya penumpang yang bertiket, sementara pengantar atau orang lain tanpa tiket hanya bisa menunggu di luar. Tiket peron khusus untuk pengantar juga sudah tidak ada lagi. Akibatnya, tidak ada lagi suasana ramai di peron yang dipenuhi oleh teman, saudara atau keluarga besar yang mengantar penumpang sampai di peron stasiun.
Pertama, akses masuk ke dalam stasiun hanya untuk penumpang bertiket. Yang diizinkan masuk ke dalam stasiun hanya penumpang yang bertiket, sementara pengantar atau orang lain tanpa tiket hanya bisa menunggu di luar. Tiket peron khusus untuk pengantar juga sudah tidak ada lagi. Akibatnya, tidak ada lagi suasana ramai di peron yang dipenuhi oleh teman, saudara atau keluarga besar yang mengantar penumpang sampai di peron stasiun.
Bagi saya, perubahan ini membuat saya “sedih”. Ketika saya ingin mengantar teman atau kerabat, saya harus puas hanya sampai di pintu masuk. Saya tidak bisa lagi menemani mereka hingga kereta berangkat. Rasanya ada sesuatu yang hilang. Aturan ini memang berdampak positif pada ketertiban, tetapi saya tetap merasa kehilangan nuansa hangat dan nostalgia masa lalu.
Kedua, hilangnya pedagang asongan. Dulu, salah satu ciri khas perjalanan kereta api adalah keberadaan pedagang asongan. Begitu masuk ke stasiun, kita akan disambut oleh pedagang yang menawarkan dagangannya, mulai dari makanan ringan, minuman, makanan berat hingga suvenir. Di dalam kereta, pedagang asongan juga hilir-mudik menjajakan barang dagangan mereka.
Namun, dengan transformasi yang dilakukan PT KAI, pedagang asongan kini telah menghilang, baik di stasiun maupun di dalam kereta. Akhirnya, kini, stasiun menjadi lebih bersih, tertib dan teratur, sementara di dalam kereta, penumpang bisa menikmati perjalanan tanpa suara riuh rendah pedagang yang menawarkan dagangannya.
Bagi kebanyakan orang, perubahan ini tentu terasa positif. Namun bagi saya, hilangnya pedagang asongan justru membuat saya “sedih”. Perjalanan kereta api tanpa ditemani pedagang asongan serasa ada yang kurang. Saya tidak bisa lagi menikmati makanan sederhana seperti nasi rames, pecel, gorengan, mendoan, kacang bawang, jagung rebus atau minuman dingin maupun panas di perjalanan dengan harga yang sangat terjangkau secara spontan. Kini, apabila ingin membeli makanan atau minuman, saya harus ke minimarket atau cafe di stasiun. Atau di restorasi kereta dengan menu tentu saja berbeda. Untuk harga? Ya... Tentu tidak dapat dibandingkan. Transformasi ini memang meningkatkan kenyamanan, tetapi saya menjadi “sedih” karena telah kehilangan interaksi dan kehangatan khas para pedagang asongan. Juga berbagai ragam kuliner khas yang sekarang telah ikut menghilang.
Ketiga, ketepatan waktu kedatangan dan keberangkatan kereta. Di masa lalu, keterlambatan kereta adalah hal biasa. Penumpang sudah terbiasa menunggu kereta yang sering datang lebih lambat dari jadwal. Kebiasaan ini sungguh sangat mendukung kebiasaan “jam karet” seperti saya.
Namun, kini semua telah berubah. Sepanjang pengalaman saya, saat ini, kereta api hampir selalu datang dan berangkat sesuai jadwal. Jangankan “jam karet”, terlambat sedikit saja dalam hitungan menit hampir pasti akan tertinggal kereta.
Sebagai orang dengan kebiasaan “jam karet”, ketepatan waktu ini membuat saya “sedih”. Dulu, saya masih bisa sedikit santai berjalan ke peron meskipun sudah mendekati waktu keberangkatan. Kini, saya harus lebih disiplin dan berangkat lebih awal agar tidak ketinggalan kereta. Saya juga tidak bisa lagi berharap kereta akan datang dan berangkat terlambat sehingga saya bisa mengejar jadwal kereta dengan berjalan perlahan.
Keempat, tidak ada lagi penjualan tiket berdiri atau tanpa tempat duduk. Mungkin hal ini terdengar aneh, karena saat ini tiket yang dijual adalah sebatas kapasitas jumlah tempat duduk yang tersedia pada satu rangkaian kereta. Di masa lalu, penjualan tiket berdiri atau tanpa tempat duduk memang disediakan, khususnya untuk kelas ekonomi dan bisnis. Tiket ini tetap menjadi incaran dan rebutan penumpang pada momen liburan atau hari raya. Bahkan lebih dari itu, beberapa penumpang nakal sengaja naik kereta tanpa membeli tiket. Nanti di atas kereta mereka akan membayar sejumlah uang kepada petugas. Hal ini menjadi salah satu celah korupsi di kereta api. Saat ini, semua itu telah menghilang. Saya “sedih”, sudah tidak bisa lagi adu cepat dengan calon penumpang lain di loket penjualan tiket untuk mendapatkan tiket berdiri.
Akhirnya, transformasi kereta api mungkin membuat saya “sedih” dalam beberapa hal, tetapi saya sadar bahwa perubahan ini membawa manfaat besar bagi masyarakat, khususnya pengguna kereta api. Saya hanya perlu beradaptasi dan belajar untuk menikmati perjalanan dengan cara yang baru - lebih teratur, lebih disiplin, tetapi tetap dengan menyisakan ruang untuk kenangan manis masa lalu. Dan seperti lagunya kak Bernadya, Untungnya, Hidup Harus Tetap Berjalan. Demikian pula transformasi kereta api, harus tetap berjalan...
Komentar
Posting Komentar